Caadara
Dahulu kala di Irian Jaya, hiduplah seorang panglima perang bernama Wire. Ia tinggal di desa
Kramuderu. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Caadara.
Sejak kecil Caadara dilatih ilmu perang dan bela diri oleh ayahnya. Wire berharap, kelak anaknya bisa menggantikannya sebagai panglima perang yang tangguh.
Sejak kecil Caadara dilatih ilmu perang dan bela diri oleh ayahnya. Wire berharap, kelak anaknya bisa menggantikannya sebagai panglima perang yang tangguh.
Tahun
berganti. Caadara tumbuh menjadi pemuda yang gagah. Caadara juga
tangkas dan cakap. Wire ingin menguji kemampuan anaknya. Karena itulah
ia menyuruh pemuda itu berburu di hutan.Caadara mengumpulkan
teman-temannya. Lalu mereka berangkat berburu. Mereka berjalan melewati
jalan setapak dan semak belukar. Di hutan mereka menemui banyak
binatang. Mereka berhasil menombak beberapa binatang.
Dari
hari pertama sampai hari keenam, tak ada rintangan yang berarti untuk
Caadara dan anak buahnya. Tapi esok harinya mereka melihat anjing
pemburu. Kedatangan anjing itu menandakan bahaya yang akan mengancam.
Caadara dan anak buahnya segera siaga. Mereka menyiapkan busur, anak panah, kayu pemukul, dan beberapa peralatan perang. Mereka waspada.
Tiba-tiba terdengar pekikan keras. Sungguh menakutkan! Anak buah Caadara ketakutan. Tapi Caadara segera menyuruh mereka membuat benteng pertahanan. Mereka menuju tanah lapang berumput tinggi. Tempat itu penuh semak belukar. Di sana mereka membangun benteng untuk menangkis serangan musuh.
Tiba-tiba muncullah 50 orang suku Kuala. Mereka berteriak dan menyerang Caadara dan anak buahnya. Tongkat dan tombak saling beradu. Sungguh pertempuran yang seru. Caadara tidak gentar. Ia memimpin pertempuran dengan semangat tinggi. Padahal jumlah anak buahnya tak sebanding dengan jumlah musuh.
Caadara dan anak buahnya segera siaga. Mereka menyiapkan busur, anak panah, kayu pemukul, dan beberapa peralatan perang. Mereka waspada.
Tiba-tiba terdengar pekikan keras. Sungguh menakutkan! Anak buah Caadara ketakutan. Tapi Caadara segera menyuruh mereka membuat benteng pertahanan. Mereka menuju tanah lapang berumput tinggi. Tempat itu penuh semak belukar. Di sana mereka membangun benteng untuk menangkis serangan musuh.
Tiba-tiba muncullah 50 orang suku Kuala. Mereka berteriak dan menyerang Caadara dan anak buahnya. Tongkat dan tombak saling beradu. Sungguh pertempuran yang seru. Caadara tidak gentar. Ia memimpin pertempuran dengan semangat tinggi. Padahal jumlah anak buahnya tak sebanding dengan jumlah musuh.
Caadara berhasil merobohkan banyak musuh. Sedangkan musuh yang tersisa melarikan diri.
Betapa kagumnya teman-teman Caadara melihat anak panglima perang Wire. Mereka segan dan kagum padanya. Mereka pulang sambil mengelu-elukan Caadara.Kampung gempar dibuatnya. Wire sungguh bangga. Ia juga terharu sehingga berlinang air mata. Tak sia-sia latihan yang diberikan pada Caadara.
Kampung gempar mendengarnya. Ayahnya terharu dan berlinang air mata. Pesta malam hari pun diadakan. Persiapan menyerang suku Kuala pun diadakan, karena mereka telah menyerang Caadara.
Betapa kagumnya teman-teman Caadara melihat anak panglima perang Wire. Mereka segan dan kagum padanya. Mereka pulang sambil mengelu-elukan Caadara.Kampung gempar dibuatnya. Wire sungguh bangga. Ia juga terharu sehingga berlinang air mata. Tak sia-sia latihan yang diberikan pada Caadara.
Kampung gempar mendengarnya. Ayahnya terharu dan berlinang air mata. Pesta malam hari pun diadakan. Persiapan menyerang suku Kuala pun diadakan, karena mereka telah menyerang Caadara.
Esok
harinya, Caadara diberi anugerah berupa kalung gigi binatang, bulu
kasuari yang dirangkai indah, dengan bulu cendrawasih di
tengahnya.Kemudian masyarakat desa mempelajari Caadara Ura, yaitu taktik
perang Caadara. Taktik itu berupa melempar senjata, berlari, menyerbu
dengan senjata, seni silat jarak dekat, dan cara menahan lemparan kayu.
Nama Caadara kemudian tetap harum. Ia dikenal sebagai pahlawan dari desa
itu
Komentar
Posting Komentar